Beranda | Artikel
Karena Allah
Kamis, 13 April 2017

Bismillah.

Tidaklah diragukan mengenai keutamaan para ulama. Orang-orang yang mengemban ilmu agama Islam ini dengan landasan al-Qur’an dan Sunnah serta meniti jejak para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in. Para ulama yang digambarkan laksana rembulan diantara bintang-bintang di langit. Para ulama yang ‘menghidupkan’ dengan Kitab Allah orang-orang yang telah mati hatinya.

Apabila kita cermati dengan seksama nasihat dan bimbingan para ulama, akan kita dapati bahwasanya petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah. Betapa indahnya kehidupan orang yang dengan penuh kesadaran dan ketundukan mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merenungkan serta mengamalkan tuntunan ayat-ayat al-Qur’an.

Para ulama membawa manusia kepada kehidupan yang hakiki, bukan semata-mata kehidupan hewani. Seperti yang diungkapkan oleh sebagian ulama salaf, “Kalau bukan karena keberadaan ulama niscaya manusia serupa dengan binatang.”

Para ulama yang berbicara karena Allah. Mereka menjelaskan kandungan ayat-ayat Allah dan faidah dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama adalah sosok manusia yang memendam rasa takut kepada Allah. Para ulama adalah barisan terdepan diantara para peniti jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara dari hawa nafsunya- bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Berbahagialah mereka yang berkata-kata karena Allah dan beramal juga karena Allah. Para ulama yang menyebarkan dakwah Islam ini ke segala penjuru demi meninggikan kalimat Allah dan menebar rahmat dan hidayah kepada manusia. Para ulama adalah barisan terdepan diantara para pejuang kemanusiaan. Mereka memperkenalkan kepada manusia akan hakikat kemanusiaan; yaitu dengan mengabdi kepada Allah dan tunduk kepada bimbingan-Nya. Itulah manusia-manusia yang akan berbahagia. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Dan barisan terdepan dari para ulama itu adalah para sahabat Nabi radhiyallahu’anhum ajma’in. Para sahabat yang telah dipilih oleh Allah untuk mendampingi perjuangan dakwah Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat yang telah mengorbankan harta, kedudukan, jabatan, bahkan nyawanya demi tegaknya Islam dan tauhid. Mereka berjuang demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Oleh sebab itu ilmu dan amal mereka penuh dengan keberkahan. Ilmu yang melahirkan rasa takut kepada Allah dan amal yang menumbuhkan ketawadhu’an.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kita tidak ada apa-apanya dibandingkan para sahabat. Siapakah yang menyambut dan mendukung dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa-masa kemunculannya? Siapakah orang-orang terdepan yang melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tekanan dan ancaman musuh-musuhnya? Siapakah yang menerima ilmu dan menyampaikannya kepada generasi Islam setelah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat?

Sebaik-baik generasi adalah generasi mereka. Dan sebaik-baik manusia setelah para nabi dan rasul adalah mereka. Mereka menimba ilmu karena Allah. Mereka beramal karena Allah. Mereka berdakwah karena Allah. Dan mereka pun bersabar karena Allah. Mereka bersedekah dan berjihad juga karena Allah. Hal itu tampak dari apa yang mereka lakukan dan dari sanjungan dan pujian yang telah Allah dan Rasul-Nya berikan. Oleh sebab itu Allah ridha kepada mereka…

Amal yang diterima adalah amal yang ikhlas. Sementara ikhlas itu artinya seorang beramal karena Allah. Bukan karena mencari ketenaran atau kemegahan dunia. Oleh sebab itu orang yang ikhlas akan selalu berusaha sebisa mungkin menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka untuk menyembunyikan kejelekan-kejelekannya. Bahkan para ulama pun menganggap dirinya jauh dari keikhlasan. Sebagian mereka mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk ikhlas.”

Ibnul Qayyim rahimahullah pun menegaskan, bahwa bukanlah yang menjadi ukuran adalah bagaimana orang bisa beramal ini dan itu -sebab semua orang bisa melakukannya- akan tetapi yang jadi masalah dan ukuran adalah bagaimana agar amal-amal itu selamat dari perusak dan pembatal-pembatal. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih susah daripada niatku. Karena niat itu selalu berbolak-balik…”

Tidakkah kita ingat profil orang-orang salih yang digambarkan di dalam al-Qur’an yang mengatakan dengan penuh kejujuran (yang artinya), “Sesungguhnya kami memberikan makan kepada kalian semata-mata demi mencari wajah Allah. Tidaklah kami berharap dari kalian suatu balasan ataupun sekedar ucapan terima kasih.” (al-Insan : 9)

Tidakkah kita ingat hadits tentang seorang lelaki yang bersedekah dengan tangan kanannya seraya menyamarkannya -sehingga tidak tampak dan tenar- sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya? Tidakkah kita ingat seorang lelaki yang mengingat Allah dalam kesendiriannya lalu meneteskan air matanya? Tidakkah kita ingat tentang dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah; mereka bertemu dan berpisah karena Allah jua? Tidakkah kita ingat pula keadaan tiga orang yang pertama kali dijadikan sebagai korek atau bahan bakar api neraka; yang penyebabnya adalah hilangnya ikhlas dari amal-amal mereka?

Ikhlas… Ya, ikhlas! Barangkali itulah aset yang selama ini lenyap dan hilang dari kehidupan kita. Kita mengira amal-amal kita sudah hebat tetapi ternyata amal-amal itu ‘membusuk’ dan menjelma menjadi ‘kanker ganas’ yang menggerogoti iman dan tauhid gara-gara riya’ dan ujub yang merembet kemana-mana. Maka orang yang ikhlas akan berusaha untuk mengenali hakikat dirinya. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya niscaya dirinya itu bisa jadi lebih rendah/lebih hina daripada seekor anjing.”

Sebagian sahabat Nabi bahkan mengatakan, “Seandainya dosa itu memiliki bau (busuk) niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” Anda adalah anda. Anda ini manusia yang kerapkali tercebur ke dalam dosa. Anda sadar siapa diri anda?! Apa yang hendak anda banggakan dan sombongkan di hadapan Allah? Apakah anda mau berbangga dengan dosa?

Tidakkah anda ingat doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu ‘Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsiira..’ dalam riwayat lain dikatakan ‘zhulman kabiira’ artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman” atau “kezaliman yang besar”

Siapa kita dan siapa Abu Bakar radhiyallahu’anhu? Kalau Abu Bakar saja -sahabat Nabi yang terbaik dan orang yang dijamin masuk surga- diajari mengakui dosa dan kezalimannya lantas bagaimana lagi dengan orang seperti kita.. Ingatlah, bahwa dengan mengakui dosa-dosa itu akan membuka jalan taubat dan ampunan Allah. Ingatlah, dengan menyadari dosa-dosa itu anda akan semakin tunduk dan merendah di hadapan Allah. Ingatlah, dengan meninggalkan dosa-dosa itu karena Allah maka Allah akan memuliakan derajat dan kedudukan anda…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/karena-allah/